TELFON IBU

Pernah suatu waktu, menuju bulan ramadhan, sering melihat iklan tentang seorang ibu yang menelfon anaknya yang kerja di perantauan. Anaknya ditampilkan 'sok sibuk' sekali, hingga agak sulit menerima telfon ibunya yang rindu itu. Seringkali di reject telfon Sang Ibu. Saya berfikir, 'Durhaka banget anak itu. Padahal ibunya yang membesarkan, mendidik dan mendoakan, masak cuma nerima telfon ga bisa'
Hingga seorang Nabila Firdausiyah, yang dulunya ngerasani anak iklan yang dianggap durhaka itu, merasakan sendiri bagaimana menjadi anak yang ada di iklan.


Menjadi seorang karyawan kantor (baru dua bulanan lagi) plus menyandang status anak wedoknya Ibuk Ica, itu pergolakan batinnya bukan main. Seringkali Ibu tercinta ini menelfon di jam-jam kantor, mulai dari jam 10 pagi, jam 11, jam 2 sore, jam 5 sore, jam 6 sore, ya pokok ada ajalah telfon dari Sang Kanjeng ini. Menelfonnya kadang sudah kayak minum obat, 3x sehari.
Dilema.
Diangkat, ga enak sama atasan.
Ga Diangkat, pintu surgamu tutupan.
Pernah suatu waktu, tim lagi discuss, hp tetiba menampilkan foto ibu. Yap, telfon dari Ibu. Angkat ga ya, angkat ga ya ?
Akhirnya ga kuangkat.
Ternyata penolakan panggilan itu, benar-benar membuat hatiku resah. Id, Ego dan Superego dalam diriku tukaran.
Onok sing omong "kamu bener kok bel, kan lagi rapat sama bos loo" , sijine omong "astaga bel. iku kan ibukmu. dadi luwih penting bos timbang ibukmu?"
Pergolakan batin 2 menit itu, aku putuskan langsung keluar ruangan untuk menelfon ibu.
Jika ada yang menyarankan, "ya bilang ke Ibu untuk menelfon di jam istirahat"
Sampun, sudah, i did it. Tapi Si Ibu tetap hobi menelfon sesuka perasaan rindunya. hehe
Sebenernya ya,
Sejak kuliah, ibu bukanlah orang nomor satu untuk menelfon anaknya. Adalah Alm.Ayah, yang hobi menelfon anaknya melebihi aturan minum obat. Subuh ditelfon "Sudah Sholat?", Jam 10 pagi ditelfon hanya sekedar bertanya "Kuliah apa ? atau sarapan apa?", lanjut suasana sore ditanya kembali "Gimana kuliahnya?", atau setelah isya "Makan malam apa? Nugas apa kok belum pulang ke kosan, ini sudah malam, kamu wedok nduk" , dan bahkan menelfon hanya untuk sekedar pamer "Nduk, Ayah sama Ibu lagi makan makanan favoritmu, Tahu Kikil, enak sekali" haha.
Oleh karena itu, jangan ditanya betapa saya sangat kehilangan sosok penelfon yang melebihi pacar (emang punyak? duh haha)
Ibu akan menelfon apabila ayah memberikan telfonnya pada Ibu dengan kalimat pembuka "nduk, ini ibumu mau ngomong".
Padahal yaa itu cara Ayah saja, agar terlihat sebanding bahwa Ibumu juga khawatir pada anaknya. Sebenernya Ibu bukan tak sayang untuk menelfon, Ibu selalu repot dengan pasien-pasiennya, dan saya yakin Ibu sangat percaya sama anak-anaknya hehe.
Hingga kepercayaan Ibu menjadi kekhawatiran bercampur kerinduan mendalam.
Ya, selepas Ayah meninggal.
Ibu jadi sangat perindu dan tak mau tau.
Ibu sangat suka diucapkan selamat berbuka di puasa senin kamisnya,
Ibu sangat suka ditanya sudah ngaji sampek mana.
Ibu sangat suka ditanya lagi apa.
Ibu sangat suka anaknya bercerita tentang kehidupannya.
Dan ibu sangat tidak suka apabila tidak ada kabar seharian dari anaknya hehe.
Terlucu adalah malam kemarin.
Anaknya sedang spaneng sama request dadakan klien di tengah malam. Kemudian muncul pesan Line
"Nak, belum tidur?"
Jika sudah begini, ini bukan pertanyaan yang harus dijawab "belum" atau "ini mau tidur, Buk", tapi harus dijawab dengan telefon :") hehe
Karena spaneng tugas dadakan, maka kubalas,
"Buk, telfonnya besok aja ya, bela masih nggarap tugas dadakan"
Kemudian hp berbunyi, IBU MENELFON :")
Ya sudah, biar surgaku terbuka selalu.
"Halo nak, enggak. Ibuk mek atene cerito sedilut. Mau ibuk belonjo shhjhdjshdjgehfegjgfhgjdsghgdhfgfhgfgfgdhgdhghfdhg" (hingga menitnya berpuluh-puluh haha, karena 'sedilut'nya tiap orang itu kan berbeda) hehe
Apalah artinya mengangkat telfon
Jika kau itu sosok pembalur badanku dengan minyak telon
Apalah artinya berpuluh-puluh menit
Dengan sembilan bulan kau menanggung sakit
Telfonlah aku sepuas yang kau mau
Toh dahulu kau tak pernah membisu dengan sejuta pertanyaanku
"Buk, Ini apa ? Apa itu"
Telfonlah aku, selama Allah masih menyayangi kita
Jangan biarkan aku menyia-nyiakan sosok tercinta
Cukup sesalku menjadi anak jarang pulang di saat Alm.Ayah selalu mengode agar aku bisa pulang tiap minggu
Ku tak mau menjadi anak jarang ngangkat telfon buat Ibu
Karena kini orangtuaku hanya sisa satu
Terimakasih atas keridhoan jarak 1000km ini
Sehingga Allah turut meridhoi
Telfonlah kapanpun kau mau
Toh aku bisa berbicara berkat pengajaranmu
~~~~~
Ibu kandung muluk nih yang nelfon, Ibu mertua kapan ?
Umur jalan 23, kok sudah ngarep ditelfon Ibu mertua ?
Padahal hidup masih bingung untuk meraih cita-cita
Tapi nggak apalah, sedikit dibumbui cinta-cinta, hehe

Jakarta, 31 Maret 2018

Komentar

Postingan Populer